Saya masih terjaga di tengah malam ini. Pandangan memang remang- remang, tapi saya sudah terbiasa. Masih dengan setia terduduk di atas kasur tepatnya di kamar. Saya tidak bisa tidur karena otak saya penuh sekali. Rasanya seperti akan meledak dan luber hingga mengenai wajah serta leher. Padahal pertanyaannya hanya karena satu perkara, “Ingin kuliah apa dan dimana nanti?”
Emosi saya sedang tidak stabil. Takut, gelisah, cemas, sedih, marah menyeruak ke dalam hati. Pertama kali merasakan hal seperti ini, dan ini terasa sangat tidak mengenakkan. Rasa cemas muncul setiap melihat jam bergerak, gelisah setiap mendengar suara langkah. Pencampuran rasa ini terlalu awam, asing sekali bahkan.
Tapi mengingat kejadian tadi, saya memaklumi hal ini terjadi. Tapi mengapa air mata saya tidak berhenti menetes? Oh, bahkan sepertinya sudah bisa disebut guyuran air mata telah jatuh sejak berjam-jam lalu. Tangan saya tidak berhenti meraup mata. Kanan, kiri, gemetar menyadari ini adalah realita.
Ponsel digenggam erat-erat. Jemari secara terburu-buru mencari kontak mana yang bisa dihubungi. Tolong saya, sakit sekali rasanya. Dada yang dipukul- pukul sudah tidak mempan lagi! Rasanya lebih sakit daripada pukulan saya sendiri.
Tapi, saya ingin bercerita kepada siapa, ya? Pandangan orang-orang bagaimana? Jika bercerita apa akan dianggap sentimental? Memikirkannya saja sudah membuat dada saya berat, naik turun secara fluktuatif. Tidak, saya tidak boleh menceritakan kejadian ini pada siapapun. Nanti akan dilihat sebagai orang yang terlalu perasa, banyak drama. Memang sedang main teater?
Saya pikir kejadian seperti ini hanya akan muncul di novel atau film saja, tidak di kehidupan nyata. Saya sempat membeku, menolak bahwa ini rill. Suara- suara bentakan dan amarah masih terus masuk ke kuping saya. Padahal, laptop sudah memutarkan lagu-lagu femme fatale dengan volume seratus. Karena hati tidak terima, maka dari itu lagu yang diputar ritmenya semangat sekali.
Mungkin remaja lain kalau sedang merasakan buncahan emosi yang sedemikian rupa lebih memilih memutarkan lagu-lagu Sal Priadi, atau Nadin Amizah yang sedang tren. Tapi saya tidak kuat mendengarkan lirik-lirik yang dibuat
seolah memang sengaja ingin merobek jiwa sang pendengar. “Kalau kamu puter lagu sedih, berarti kamu setuju dengan ucapan Ayah, kamu nyerah. Kamu setuju kalau kamu ‘goblok’.” Itulah nasihat dari hati saya.
Iya, saya tidak setuju dengan Ayah saya. Tidak goblok, saya pintar! Ya, kan, Otak? Saya tidak mau direndahkan seperti itu, di mana harga diri saya akan ditaruh nanti? Tidak mau kalah, harus menjunjung tinggi diri sendiri. Karena yang saya punya pun hanya diri sendiri. Air mata, tolong berhenti menjatuhkan diri sendiri.
Tapi bagaimana, ya? Saya sudah berusaha sekuat tenaga menahan air mata, tapi tidak bisa. Sampai lelah tangan saya meraup-raup mata sembari melihat ke arah laptop. Memperhatikan dengan seksama bagaimana youtuber kesukaan saya membicarakan produk kecantikan kesukaannya.
Kaki saya bergerak beranjak dari kasur. Mengarahkan menuju kaca yang tersambung dengan meja. Terima kasih kaki, sudah membawa saya ke kaca, kata hati. Karena hati saya penasaran, apakah saya masih cantik setelah menangis berjam-jam? Kaca ditatap lekat-lekat, ingin melihat sedekat mungkin.
Senyuman puas pun keluar. Iya, saya ternyata masih cantik setelah menangis berjam-jam. Mejanya berantakan, tapi tidak apa-apa. Bekas apa ini yang ada di tangan saya? Banyak sekali setengah lingkaran kemerahan. Sontak melihat kuku. Ah, pantas, kuku saya belum dipotong. Mungkin saya tidak sadar saat melakukannya.
Pas sekali! Buku jari menyenggol gunting kuku. Ayo kita gunting kuku dulu, Mayang. Satu-satunya pencahayaan saya hanyalah pancaran bias dari lampu ruang tengah. Jempol, telunjuk, jari tengah, jari ma—klik! Lampu tengah telah dimatikan. Padahal jari manis masih setengah jalan. Tidak apa-apa, saya hanya perlu mengikir kuku saya sampai habis. lagipula, masih ada cahaya dari laptop.
Terus mengikir hingga habis sembari ketenangan mulai mengerubungi saya dan berucap,
“Manik Mayang, selamat tidur!”
***
Saya baru bangun. Jam berapa ini? 13.27
Sekolah! Kenapa tidak ada yang membangunkan saya? Ponsel yang tergeletak di pinggir bantal saya raih. Notifikasi yang muncul pertama kali adalah, “Mayang, sekolah libur. Jadi, jangan panik pas bangun tidur.” Dikirim jam 7 pagi. Dari teman sebangku saya. Diliburkan, ya? Baguslah kalau begitu.
Tugas hari ini ada berapa, ya? “Banyak.” Kata otak mengingatkan. Hahh… Sumpek. Sepertinya nanti saya akan pergi keluar. Mencari café untuk mengerjakan tugas sampai mampus.
Badan saya terangkat, berjalan menuju kulkas. Lapar, ada apa di kulkas? Kosong. Ya sudah, lah. Ujung mata melirik meja makan, ada sebakul duku. Pasti Bunda yang membeli. Jadi malas kalau Bunda yang beli.
Tiba-tiba ada tangan yang mendorong bakul duku itu hingga jatuh. Tangan itu pun memukul-mukul duku sampai penyet. Saya takut kena pukul, mundur adalah pilihan yang tepat. Kasihan sekali duku-duku itu. Dengan perlahan, saya mengumpulkan duku-duku yang penyet itu. Sambil memilah mana yang masih bagus dan bisa dimakan. Ingin mencoba satu tidak salah, kan?
Kulitnya dikupas lalu buahnya disuap ke mulut. Alarm otak saya menyala! Pahit! Aduhh, tidak enak! Harusnya saya tidak kasihan kepada duku-duku itu, rasanya saja seperti ini! Untungnya inisiatif badan saya tinggi. Jadi mulut langsung memuntahkan bekas kunyahan duku kurang ajar itu ke wastafel. Keran saya nyalakan, dan tangan dicuci lembut (karena perihnya sangat terasa, bekas cakaran tadi malam). Terlihat bulat-bulat biji yang menyangkut di saringan wastafel. Iya, ya? Kan biji duku pahit, pantas tidak enak. Tertawa melihat wajah bodoh saya di pantulan kaca wastafel.
Jari kelingking saya kenapa ada bekas merahnya? Bekas apa lagi ini? Apakah ini cat merah? Tapi saya tidak memegang cat sama sekali. Selain merah, rasanya seperti berdenyut. Saya habis terkena apa? Apakah saya dipukul oleh tangan yang tadi? Tidak tahu lah. Malas memikirkannya. Sekalian selagi masih di kamar mandi, saya mandi dan bersiap pergi menuju café. Seperti rencana di awal.
Setelah siap, aplikasi ojol saya ubah alamatnya dan memesan setelah selesai. Ponsel menampilkan notifikasi ‘sedang mencari pengemudi’. Hahh… memang, untuk saat ini lebih baik kita andalkan ojol saja. Saat seperti apa? Saat
seperti sekarang ini, hujan di luar ditambah geledek yang berbunyi seperti meledek. Sudah dua jam lamanya, hujan dan pemesanan ojol ini. Masih saja mencari terus. Entah sampai kapan, mungkin baru ada pengemudi yang menerima saat saya sudah terlanjur mati.
Hati terus menimbang, apa saya mengendarai motor saja, ya? Ojol terlalu lama. Salah ternyata kalau mengandalkan ojol. Jam sudah menunjukkan kedekatannya kepada pukul lima. Saya harus cepat. Jam lima sore, biasanya Ayah dan Bunda sudah pulang. Saya masih tidak ingin bertemu dengan mereka.
Serangan itu tiba-tiba datang. Dada saya kembali sakit, air mata pun juga luruh. Seperti tadi malam. Saya panik, bagaimana nanti tidak keburu pergi dan bertemu Ayah dan Bunda. Pasti kalau bertemu, pertanyaan akan masa depan itu terlontarkan lagi. Sudah cukup semalam saja.
Jemari kembali bergetar mengetuk-ngetuk ponsel yang malah telat merespon. Ayo cepat pergi dari sini. Jangan mengetem di sini terus! Sana!
Mau tidak mau, memang hanya diri saya sendiri saja yang bisa diandalkan. Ya sudah, berangkat menggunakan motor. Tidak apa-apa baju basah, daripada hati yang banjir lagi? Saya tidak mau menggaruk-garuk kasar leher saya karena fustasi. Cukup mencakar-cakar tangan saya sendiri.
***
“Kak, kita tutup jam sembilan malam, ya.” Kata Mas Barista sambil berjalan mendekat ke arah saya.
Selama itu kah saya mengerjakan tugas? Terus saya setelah ini pergi ke mana, ya? Harus ke mana? Pulang? Tidak mau. Saya menolak keras untuk pulang. Jam segini apa yang masih buka? Mal masih buka tidak, ya? Coba periksa dulu.
Saya membereskan barang-barang saya dan berlalu pergi. Motor mulai dinyalakan, dan saya gas. Berat motornya, karena bensinnya sudah mau habis. Sama beratnya mungkin dengan bahu saya. Berat karena sadar, waktu saya di luar tinggal sebentar lagi.
Mal masih buka, langsung saja melangkah menuju toko kosmetik andalan saya. Dua hari ini saya sedih, ini merupakan pertanda saya harus pergi membeli
sesuatu. Ada lip gloss baru! Cantik sekali warnanya, saya jatuh cinta. Hehe, sudah masuk ke tas (pastinya saya sudah bayar, ya). Puas sekali, ayo lihat yang lain.
Ting!
“Kamu di mana? Bunda pulang kok nggak ada di rumah?”
Lalu beberapa detik kemudian panggilan telepon dari Bunda masuk. Ponsel saya sunyikan langsung. Haduh, suasana hati saya turun lagi hanya karena satu pesan dan satu telepon? Kurang ajar.
Berpindah, mal terlalu ramai, tidak kondusif. Toko yang berada di depan mal adalah sasaran saya. Melihat ada kursi hijau berkarat, langsung saja duduk dan berdiam diri melihat motor dan mobil berlalu lalang. Saya berusaha menaikkan diri ke imajinasi yang paling atas. Pokoknya, sampai lupa akan kejadian itu, harus!
Pikiran saya mulai menari-nari liar, seliar otak saya yang membuat skenario yang membuat gila. Terus semuanya naik ke atas awan, tidak ada lagi keterpurukkan di bawah tanah yang pengap itu. Semua ditinggal ke atas awan. Potret saya berlibur di New York muncul beriringan dengan potret saya bekerja kantoran di SCBD (walaupun hanya sebulan lamanya). Aduh, indah sekali masa depan saya, ya? Wacana-wacana yang saya dan teman saya rancang bersama terbayangkan dan terasa sangat dekat.
Ting! Ting! Ting! Ting! Ting! “Mayang! Kamu dimana?”
“Dek, aku di WA Bunda. Katanya kamu lagi di luar?” “Kenapa belum pulang?”
“Kamu kenapa?”
“Aku harus bales Bunda apa?”
Aduh! Tiba-tiba kaki saya terkilir dan saya jatuh. Saya kembali ke realitas. Fakta yang mengatakan bahwa saat ini jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Lima pesan di atas dikirm oleh Kakak. Iya juga, saya lupa menceritakannya kepada Kakak saking takutnya tadi malam.
Kakak menelpon.
Halo? “Kamu di mana, Mayang?” Lagi di daerah Galaksi, Kak. Kenapa telepon? “Kenapa jam segini belum pulang?” Malas saja, paling sebentar lagi
pulang. “Bunda nyuruh pulang sekarang.” Iya ini pulang. “Ya udah.” Telepon pun ditutup.
Apa saya harus pulang, ya?
Terlonjak kaget bahu saya. Ada telepon lagi, dari Bunda. “Kenapa jam segini belum pulang? Ngapain, sih, malem-malem gini? Pulang sekarang, Dek. Ini udah mau jam sebelas.” Katanya. Semakin dekat ya saya dengan rumah? Kenapa cepat sekali mendekatnya. Bahkan motor saya pun turut ikut serta membuat saya merasa semakin sumpek karena dekatnya saya dengan sumber masalah.
Tunggu dulu, saya seperti tercekik. Motor, berhenti dulu, jemari saya bergetar hebat karena kurangnya pasokan oksigen. Saya tidak bisa bernapas. Kakak, saya harus meneleponnya sekarang juga. Kak, tolong angkat, jalan kecil pinggir gang ini sunyi sekali. Kepala saya dongakkan dan ternyata tepat di atas ada lampu gantung yang bersinar redup.
Kak, tolong aku. Kak, aku nggak mau pulang. “Dek? Mayang? Kamu kenapa? Diapain sama Ayah?” Nggak…. “Kamu kenapa nggak mau pulang?” Kak aku takut. Aku takut sama Ayah. Nanti kalau aku pulang terus ketemu, gimana? Aku nggak mau. “Ayah kemarin marahin kamu?” Iya, Ayah bilang aku goblok. Aku nggak goblok kan ya, Kak? …… Kak, aku takut banget. Kalau aku pulang, nggak bakal dipukul sama Ayah, kan? “Dek, kamu nggak usah mikir yang aneh-aneh. Coba kamu teken ketakutan kamu dulu. Pulang, Dek. Di luar justru lebih nggak aman. Nanti kalau udah nyampe, langsung masuk kamar aja, nggak usah ketemu sama Ayah ataupun Bunda. Ya, Mayang?” Iya, kak. Telepon saya matikan
Kenapa justru saya lebih merasa nyaman dan aman saat di jalan seperti ini, ya? Kepala saya terantuk stang motor, jangan bengong, sadar! Tapi tidak bisa, saya justru merekam ulang kejadian kemarin malam. Di mana kursi yang saya duduki menjadi saksi bagaimana dengan tidak ada perasaannya saya disebut ‘goblok’ berulang kali oleh orang yang saya banggakan.
***
“Goblok tenan!”
“Kamu harusnya sadar, nggak ada yang peduliin kamu selain Ayah dan Bunda! Kamu cuma punya diri sendiri! Liat, bahkan tante kamu aja diem di kamar
doang, kan? Masih nggak tahu terima kasih gini kamu mimpi masuk sastra Indonesia? Bodoh! Harusnya kamu masuk hukum saja. Mau jadi apa, sih? Sastrawan? Mimpi! Menulis saja nggak bisa.”
Kalimat tataran itu terus tidak ada habisnya kalau dituliskan semua. Katanya saya tidak tahu terima kasih kalau memilih sastra, katanya lagi saya bodoh dan egois kalau tidak memilih hukum. Padahal awalnya pembicaraan malam itu mengenai teman saya yang tidak berpamitan pulang dengan Ayah. Dia anggap teman saya kurang ajar. Baru berlanjutlah ke perkuliahan, ranah yang paling saya hindari. Bunda pun sama saja. Berharap merengkuh dengan penuh kasih, malah menangis sendiri karena anaknya dibandingkan dengan anak petani kenalan Ayah. Bodoh, bergantung kepada orang seperti itu. Kecewa pun tak tertampung.
Ayah bertanya, “Kamu mau jurusan apa?” Saya pun hanya bisa menjawab masih mencari. “Mau kampusnya di mana?” Lagi-lagi saya jawab masih mencari. Marah mungkin karena jawaban saya. Lagi pula memang salah, ya kalau belum mengetahui tujuan di masa depan itu apa?
Salah saya, kalau saya merasa saya susah memilih? Bahkan guru pun setiap diminta rekomendasi jurusan hanya bisa berucap, “Potensi kamu besar, bisa di mana saja.” Makin tidak karuan biasnya tujuan yang ingin saya bangun itu. Ayah selalu mengajari saya untuk mencoba hal-hal baru, itulah mengapa saya susah memilih. Terlalu banyak potensi, tapi tidak sepenuhnya matang. Kutukan multitalent. Saya pun kalau ingin berharap dan mengulang hidup, ingin sekali terlahir sebagai seorang anak yang berbakti dan handal dalam satu bidang. Bukan di berbagai bidang seperti ini. Di mata Ayah pasti saya tetap anak tidak tahu diri, kan? Walaupun saya sudah bersusah-susah mempelajari segala hal demi validasi yang tak pernah diucapkan itu.
Tapi apakah Ayah akan menatap saya bangga kalau mengetahui saya lolos pertukaran ke Belanda? Apa Ayah akan mengucapkan kalimat-kalimat afirmasi positif kalau mengetahui anaknya bisa berkunjung ke perpustakaan impiannya dari kecil yang berisi bukti-bukti penjajahan Belanda terhadap Indonesia?
Ayah, saya memang tidak terima direndahkan seperti manusia tidak punya jiwa seperti itu. Saya membencimu selama bertahun-tahun lamanya, mengingatmu
yang selalu saja mengkritik apapun yang saya lakukan. Tapi mungkin memang setelan otak saya saja yang berbeda, semakin jauh saya melangkah beriringan dengan kebencian yang besar, semakin jauh juga potensi saya melejit. Katanya, kebencian itu tidak baik, tapi karena itu juga saya berdiri di sini. Di negara impian saya.
Mungkin suatu saat nanti saya akan memasuki fase ikhlas karena telah menggapai semuanya. Tapi di fase remaja ini, tolong biarkan trauma itu menjadi motivasi. Masa terpuruk itu sudah saya simpan baik-baik di laci nomor 9 di rak penyimpanan memori. Memang hanya satu, tapi dampaknya hingga ke ujung dunia.
Walaupun kata Bunda cara Ayah menyayangi anak-anaknya memang seperti itu. Tapi saya memilih untuk tidak tahu-menahu. Hati saya sudah terlalu tercabik- cabik untuk ditambahkan goresan kecil lagi, cukup, sudah segini saja. Biarkan saya maju ke depan, tolong.
Terima kasih, Ayah. maaf saya tinggal pergi ke negara impian saya. Saya hanya ingin membuktikan, bahwa saya bisa menjadi sastrawan melegenda. Saat pulang nanti pun, saya akan membawa nama kebanggaan yang sudah dibesarkan sedari masih menjadi zygot. Saya percaya, dibalik lolosnya seleksi pertukaran pelajar dan marahnya Ayah, ada doa yang dipanjatkan setiap dini hari olehnya. Doa itulah yang membuat seluruh tubuh saya masih berfungsi sebagaimana adanya, tidak rusak ataupun cacat, tapi telah berkembang menjadi ‘tangguh’ yang tiada tara. “Ayah bangga kamu masih bertahan sampai sekarang. Terima kasih, ya
anakku, Manik Mayang.”
Penulis : Fadhila Aisya Zulkarnaen